Monday, April 23, 2012

Batik dan Bensin Bersubsidi


Tulisan ini hanyalah sebuah hasil pemikiran, sebuah analogi, sebuah colekan. Bukan sebuah hasil pemikiran ilmiah, hanyalah buah pikiran yang terbelah.

Ide untuk tulisan ini muncul ketika saya sedang mengisi bensin. Seseorang mengisi mobil mewahnya dengan bensin bersubsidi. Berbagai macam pertanyaan langsung muncul di benak saya.

Apakah setelah membeli mobil mewah tersebut lalu pemiliknya bangkrut ya? Bukankah bensin bersubsidi ditujukan bagi orang-orang yang tidak mampu? Apakah si pemilik mobil mewah tidak tahu bahwa bensin bersubsidi bisa merusak mesin mobilnya?

Punya mobil mewah kok nggak sanggup beli bahan bakarnya. Kalimat itu kemudian menuntaskan pertanyaan-pertanyaan saya.

Tak lama kemudian saya melihat seorang eksekutif muda, perlente, turun dari mobil mewah menggunakan jam tangan mahal tapi memakai kemeja batik print (yang sebenarnya lebih tepat disebut tekstil bermotif batik).

Pertanyaan kembali muncul di kepala saya. Dia tahu nggak ya, bahwa “batik” yang dia pakai itu batik print alias kain tekstil bermotif batik? Tahukah dia bahwa tindakannya membeli batik print itu bisa saja mematikan industri rumahan para pembuat batik tulis dan batik cap?

Apakah dia tahu bahwa kain tekstil bermotif batik ini banyak juga yang diproduksi di Cina? Kenapa dia mampu beli mobil mewah, pakai jam tangan mewah tapi “hanya” membeli kain tekstil bermotif batik?

Dan berbagai macam pertanyaan muncul terus sampai akhirnya si eksekutif muda perlente itu masuk ke mobil dan pergi meninggalkan pom bensin tersebut...

Analogi itu kemudian terbentuk di kepala saya. Memakai batik print alias tekstil bermotif batik ibarat mengisi bensin bersubsidi untuk mobil mewah.

Maaf. Buat saya, memakai batik print itu seperti tidak menghargai diri sendiri. Bukannya sombong. Membeli mobil mewah sanggup, beli gadget terbaru sanggup, pakai tas yang harganya diatas satu juta mampu mampu, kok beli batik cap saja nggak mau?

Nggak usah batik tulis halus dulu. Batik cap juga tidak apa apa…

Alasannya begini. Kalau kita terus membeli batik print, akhirnya para pengrajin batik cap dan batik tulis tidak akan berproduksi lagi. Karena harga karya mereka jauh di atas harga kain tekstil bermotif batik. Kalau sudah begitu, kekhawatiran saya cuma satu. Mereka tidak akan lagi menghasilkan batik cap atau batik tulis halus. Dan generasi penerusnya tidak akan ada yang mau membatik lagi karena karya mereka tidak laku.

Lalu. Bagaimana nasib batik kita selanjutnya?
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencela atau memprovokasi. Sekali lagi, ini hanya buah pikiran yang muncul secara spontan. Dan mudah-mudahan bisa sedikit menyadarkan kita untuk bisa semakin menghargai batik karya budaya yang cantik.


from_yahoo.com